Babakan Asem -, Memasuki tenggat waktu pembayaran uang tebusan yang dituntut oleh kelompok penculik, muncul perdebatan antara pejabat keamanan Indonesia dan politisi di DPR tentang opsi membayar tebusan untuk membebaskan 10 WNI yang disandera di Filipina selatan.
Anggota DPR dari PDI Perjuangan, Effendi Simbolon menolak opsi uang tebusan yang disiapkan pemerintah Indonesia untuk pembebasan 10 WNI yang disebut disandera kelompok Abu Sayyaf.
“(Pendekatan) soft power itu akhirnya mengenyampingkan arti kedaulatan bangsa Indonesia. Kalau pemerintah sudah bersikap seperti itu (membayar tebusan), untuk apa ada negara dan pemerintah?” kata Effendi Simbolon kepada BBC Indonesia.
Effendi juga mengkhawatirkan apabila pemerintah Indonesia menyetujui membayar uang tebusan, maka praktek seperti itu akan diulang kembali oleh kelompok penculik.
“Mereka itu bukan penjahat musiman, mereka teroris,” tandas anggota Komisi I yang membidangi masalah pertahanan dan luar negeri ini.
Sinyal kesediaan pemerintah Indonesia untuk menyediakan uang tebusan kepada kelompok penculik itu dilontarkan oleh Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, Rabu (07/04) pagi, walaupun dia menjelaskan dana tebusan itu bukan uang negara.
“Kalau negara membayar (uang tebusan), enggak boleh. Itu artinya menekan. Negara kitaenggak boleh ditekan,” kata Ryamizard kepada wartawan sebelum mengikuti rapat kabinet.
Hari Jumat (08/04) merupakan batas waktu yang dituntut kelompok penculik agar pemerintah Indonesia menyediakan uang sebesar 50 juta peso atau sekitar Rp 15 miliar untuk ditukar para sandera.
Kesepuluh WNI -yang merupakan awak kapal Anand 12- diculik pada 26 Maret lalu di perairan Tambulian, di lepas pantai Pulau Tapul, Kepulauan Sulu, Filipina, dan sejauh ini belum ada pihak yang mengaku sebagai pelakunya.
Ditanya apakah itu artinya perusahaan pemilik kapal yang akan membayar uang tebusan, Ryamizard menolak menjawab. “Enggak tahulah.”
Walaupun tidak menggunakan uang negara, Effendi menyayangkan pernyataan itu keluar dari seorang pejabat keamanan Indonesia.
“Kalau misalnya upaya itu (penebusan) dilakukan oleh pihak perusahaan dengan perompak, ‘silakan’ saja. ‘Silakan’ itu bukan berarti pemerintah mempersilakan. Kalau pemerintah yang membuat sinyal seperti itu, lalu di mana kedaulatan negara?” ujar Simbolon
Namun Ryamizard beralasan, jalan ‘negosiasi’ yang sedang ditempuh pemerintah lebih tidak berisiko ketimbang opsi serangan militer.
“Saya pikir negosiasi itu bagus, karena operasi militer pasti ada dampak… Nanti ada yang mati. Kalau yang mati teroris ya enggak masalah, kalau yang mati rakyat kita ‘kan disayangkan,” katanya.
RI harus tekan pemerintah Filipina
Sejak awal, Pemerintah Filipina menolak keterlibatan militer Indonesia dalam operasi pembebasan sandera dan mereka juga tidak menganjurkan pembayaran uang tebusan.
Filipina menganggap kehadiran militer Indonesia tidak dimungkinkan secara hukum karena kedua negara tidak memiliki pakta kerja sama militer.
Walaupun ditolak, pemerintah Indonesia siap mengerahkan pasukan jika dibutuhkan. Saat ini lima kapal perang dan sejumlah pasukan elit TNI Angkatan Laut di Tarakan, Kalimantan Utara, telah berada dalam ‘posisi siaga satu’.
Namun, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menyatakan pemerintah harus menunggu keputusan dari Filipina, karena “itu kan dalam wilayah Filipina. Etikanya kita masuk wilayah orang, kan harus izin.”
Tetapi politisi PDI-P Effendi Simbolon mengatakan pemerintah Indonesia harus terus melobi pemerintah Filipina agar mereka mengizinkan operasi militer Indonesia untuk menyelamatkan 10 WNI yang disandera.
“Lobi ke sana (Filipina), lakukan pendekatan. Ini yang harus dilakukan. Tunjukkan bahwa negara kita punya kedaulatan, kita minta kepada Filipina (agar diizinkan melakukan pendekatan militer),” kata Effendi.
Dia kemudian mengingatkan peristiwa penundaan hukuman mati oleh otoritas hukum Indonesia terhadap terpidana narkoba asal Filipina, Mary Jane, April 2015 lalu, dapat dijadikan untuk ‘melobi’ pemerintah Filipina.
“Anda (Filipina) ‘kan sudah diberi credit point juga. Mary Jane itu seorang penjahat yang membawa narkoba… Kenapa hal yang sama (izin operasi penyelamatan militer terhadap sandera) tidak kita dapatkan?” jelasnya.
Menlu: 10 WNI dalam keadaan baik
Di tempat terpisah, Rabu (07/04), Menteri luar negeri Retno Marsudi mengatakan, 10 WNI yang diduga diculik oleh kelompok Abu Sayyaf ‘masih dalam keadaan baik’.
“Kemarin (Selasa), saya kembali berkoordinasi dengan otoritas Filipina, dan berdasarkan informasi yang saya peroleh, semua pergerakan is well monitor. Dan berdasarkan koordinasi di lapangan, dari Manila, Jakarta, kita juga mendapatkan informasi bahwa 10 ABK WNI masih dalam keadaan baik,” ungkapnya.
Menlu mengaku situasinya tidak mudah tetapi menegaskan pemerintah Indonesia tidak akan menyerah.
“Dan akan terus berupaya dalam rangka pembebasan 10 WNI, kita mencoba melakukan yang terbaik,” tambahnya.
Ditanya apakah pemerintah lebih memberi porsi besar kepada opsi membayar tebusan, Retno menolak menjawab.
Pada 2011 lalu, Indonesia membayar uang tebusan untuk membebaskan 20 anak buah kapal KM Sinar Kudus yang dibajak perompak Somalia.
Saat itu uang tebusan dibayar dan dibawa kabur perompak, namun empat perompak tewas ditembak TNI.